Minggu, 18 Januari 2009

Pada kecelakaan pesawat terbang yang jatuh, dapat dianggap bahwa semua penumpang berada dalam pesawat.
Sedangkan pada "pendaratan darurat" dengan kemungkinan sebagian penumpang berada diatas sayap atau badan pesawat bahkan dibawah sayap dalam upaya meninggalkan pesawat terbang dan ketika itu kecelakaan menimpa dirinya.
Dalam hal ini pengangkut tetap bertanggung jawab.

Ad. d.
Bilakah suatu kecelakaan dikatakan terjadi selama tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang?
*Ketentuan Ps.24 O.P.U. dapat ditafsirkan secara sempit dan secara luas.
(1). Tafsiran secara sempit :
Mulai dari saat penumpang menginjakkan kaki diatas tangga pesawat s/d menginjakkan kakinya kembali diatas tanah.
(2). Tafsiran luas :
Mulai dari saat penumpang dibawah pengawasan pengangkutan atau pegawainya.
a. Yaitu pada saat pegawai pengangkut bertugas mengantarkan penumpang, biasanya dari pintu ke landasan naik ke pesawat.
b. Apabila ditafsirkan sejak penumpang berada digedung terminal atau di restaurant bandar udara, maka penafsiran ini terlampau luas dan memberatkan pengangkut karena gedung terminal bukan kepunyaan pengangkut udara.
Kecuali bila penumpang berada di ruang makan karena akan dihidangkan makanan oleh pengangkut.

*Bila antara pengangkut udara dan penumpang ada persetujuan pengangkutan di darat misalnya untuk mengantarkan ke bandara dari rumah penumpang adalah pratek sepeti "city terminal check-in".

Bila kecelakaan menimpa diri penumpang dalam kendaraan yang disediakan pengangkut udara, maka pengangkut udara tetap bertanggung jawab.

Namun pihak penumpang tidak dapat menggugat berdasarkan ketentuan O.P.U. (Ps.24).

Hal ini diatur oleh ketentuan Hukum Perdata tentang ganti rugi dan tanggung jawab, dan ada kemungkinan akan lebih menguntungkan penumpang karena tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan batas maksimum seperti dalam O.P.U.


TERHADAP SIAPA PENGANGKUT UDARA BERTANGGUNG JAWAB ? ATAU SIAPAKAH YANG BERHAK MENUNTUT GANTI RUGI ADA PENGANGKUT UDARA ?

Pertanyaan ini bersumber pada dua pokok permasalahan :
1. Siapakah yang dapat disebut penumpang?
2. Siapa yang menggantikan penumpang bila penumpang tewas?


Ad.1.

O.P.U. maupun Konvensi Warsawa tidak memberikan definisi tentang "Penumpang". Beberapa upaya untuk memperbaiki Perjanjian Warsawa antara lain :


Draft Convention 1950, membuat definisi sebagai berikut :

Penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam suatu pesawat udara berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan.

Catatan :
Pengertian ini tidak mencakup orang-orang yang ada hubungan kerja dengan pengangkut udara, yang diangkut karena tugas mereka.

Draft Convention 1946, memberikan pengertian sebagai berikut :

Penumpang, adalah setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara kecuali awak pesawat (termasuk cabin crew) sedangkan pegawai pengakut udara baik dalam tugas maupun tidak, dianggap sebagai penumpang.

Catatan :
Definisi yang kedua lebih memuaskan bagi pengangkut udara.

Pada Definisi pertama (A) :

O.P.U. tidak berlaku bagi pengangkutan pegawai-pegawai darat ; dengan demikian, ganti rugi bagi pegawai yang menderita luka-luka atau tewas akan lebih besar dari pada penumpang yang membayar.
Ganti rugi untuk pegawai (buruh) yang mengalami kecelakaan selama melakukan tugasnya diatur oleh Undang-Undang Kecelakan yang antara lain menentukan bahwa ganti rugi itu diperhitungkan dari gaji pegawai yang bersangkutan.

Definisi penumpang menurut "Polis Asuransi" :
Penumpang, meliputi semua orang yang masuk ke dalam, diangkut dengan atau turun dari pesawat udara kecuali mereka yang bertindak sebagai awak pesawat (termasuk cabin crew).

Catatan :
Definisi ini terlalu luas, karena ada kemungkinan bahwa pengangkut udara akan bertanggung jawab untuk orang-orang yang tanpa pengatahuannya menyelusup masuk dan diangkut oleh pesawat udara (penumpang gelap).

Dintara syarat-syarat pengangkutan, umumnya terdapat syarat bahwa :"ticket penumpang tidak boleh dipergunakan oleh orang lain" (Un-transferable).
Syarat ini di Indonesia daopat kita temukan didalam Pengaturan Pengawasan Penerbangan (Verordening Toezicht Luchvaart Stb. 1936-426), Pasal 132 yakni :

"Seorang penumpang dilarang berada dalam pesawat udara yang akan berangkat tanpa mempunyai ticket yang sah".

Bila ketentuan ini dilanggar, dikenakan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.100,-

Istilah "ticket yang sah" berarti bahwa ticket harus sesuai dengan persetujuan pengangkutan.

Penumpang yang memakai ticket orang lain (meskipun diperoleh dengan gelap, sehingga terhadapnya berlaku pula Ps. 132 O.P.U.

Undang-Undang di Amerika Serikat tentang penumpang gelap (Stowaways on vesseis or aircraft) menetapkan ancaman hukuman denda setinggi-tingginya $ 1000,- atau hukuman penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau kedua-duanya.

Dari kedua contoh ketentuan diatas, ternyata bahwa penumpang gelap adalah jenis penumpang yang tidak disukai Undang-Undang sehingga patut dipahami bahwa tidak layak bila pengangkut udara diharuskan membayar ganti rugi tanpa batas bila terjadi sesuatu atas penumang istimewa ini atau bagasinya.
Kita cenderung menggunakan secara analogi Ps.29(1) O.P.U. yaitu bahwa bila terdapat kesalahan dari penumpang, maka hakim dapat meniadakan tanggung jawab pengangkut udara.

Oleh karena sebab itu ticket adalah "not transferable" sehingga tidak dapat dipergunakan oleh orang lain, maka prinsipnya "satu ticket atas nama satu orang"

Apakah ada kemungkinan (yang sah tentunya) bahwa ticket dapat dipergunakan oleh lebih dari satu orang, O.P.U. tidak mengatur secara jelas dan tegas. Demikian pula dengan Perjanjian Warsawa, sehingga H. DRION menarik kesimpulan bahwa tidak ada keberatan untuk memberikan satu ticket pada lebih dari satu orang.

Ad.2

Sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (2) OPU, yang berhak menerima santunan apabila penumpang tewas adalah suami atau istri, anak-anaknya, atau orang tuanya yang menjadi tanggungan si korban. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut anak-anak atau orang tua dari korban tidak berhak menerima santunan apabila mereka sudah tidak menjadi tanggungan si korban. Dengan demikian, apabila si korban sudah tidak mempunyai tanggungan baik istri, anak maupun orang tua, tidak ada yang berhak menerima santunan. Ketentuan Pasal 24 ayat (2) berlaku juga terhadap penerima bagasi si korban.

Sedangkan untuk barang yang diangkut dengan surat muatan udara sesuai Pasal 15 dikatakan pengirim atau orang lain yang ditunjuk selain yang disebutkan dalam surat muatan udara berhak menerima barang, sedangkan dalam Pasal 16 dikatakan penerima orang yang disebut dalam surat muatan udara berhak menerima penyerahan barang setelah memenuhi kewajibannya.

Minggu, 11 Januari 2009

Tanggung Jawab Pengangkut

Kejadian yang menimbulkan tanggung jawab pengangkut
Bahwa pengangkut udara bertanggung jawab atas kerugian karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang sehingga penumpang tewas atau luka-luka.kejadian yang menimbulkan kerugian pada diri penumpang,diakibatkan oleh :
1 Kecelakaan pesawat udara dan atau
2 Bukan kecelakaan pesawat udara.
Ada 5 persoalan pokok yang berkaitan dengan hal diatas.
1. Dalam hal-hal apa pengangkut udara bertanggung jawab ?
Pasal 24(1)O.P.U.
“Pengangkutan bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jejas lain pada tubuh,yang diderita oleh seorang penumpang,bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas pesawat udara atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke/atau turun dari pesawat udara “
Unsur-unsur (syarat) ps24 ayat(1) :
a. Ada kecelakan
b. Kecelakaan itu ada hubungnnya dengan pengankutan udara.
c. Kecelakaan itu terjadi didalam pesawat udara,atau selama suatu tindakan dalam hubungan naik ke /atau turun dari pesawat udara.
Perjanjian (konvensi) warsawa-pasal 17,tidak mencantumkan syarat sebagaimana huruf (b)Dengan demikian,syarat-syarat dalam O.P.U lebih mempersempit tanggung jawab pengangkut udara.Namun apabila syarat-syarat itu dibandingkan dengan syarat-syarat untuk adanya tanggung jawab pada pengangkutan barang atau bagasi,maka syarat untuk adanya tanggung jawab pengangkutan penumpang ternyata lebih luas;karena,
Pasal 25 O.P.U menetapkan
“Pengangkutan udara bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan kaerna musnah,hilang,rusaknya barang dan bagasi asal saja terjadinya kerugian itu selama pengangkutan udara”(jadi penafsirannya sangat luas)
Kesimpulan :
Apabila seseorang inign meminta ganti rugi untuk kerugian pada diri penumpang,bagasi maupun barang,cukup dengan menunjukkan bahwa kejadian itu memenuhi syarat-syarat dalam Ps 24&25 O.P.U.
Mengenai syarat-syarat pada kedua ketentuan pokok tersebut (ps 24&25) akan timbul persoalan baru misalnya pada pengangkutan penumpang:
a. Kapan suatu kejadian dapat disebut suatu kecelakaan?
b. Kapan kecelakaan itu ada hubungan dengan pengangkutan udara?
c. Bilakah suatu dikaitkan terjadi selama suatu tindakan dalam hubungan dengan naik keatau turun dari pesawat terbang ?
Ad.a
Suatu kecelakaan adalah suatu kejadian yang berhubungan denagn penggunaan pesawat terbang,yakni sejak seseorang mulai naik ke pesawat dengan maksud untuk terbang sampai orang itu meninggalkan pesawat terbang,misalnya :tewas atau luka berat akibat dari berada didalam atau diatas pesawat terbang atau pesawat terbang mengalami kerusakan berat(annex 13 chicago convention 1944 tentang “Aircraft accident injuiry”)
Dengan demikian,terdapat unsur-unsur sbb:
1. Ada kejadian;
2. Kejadian itu ada hubungandengan pesawat terbang
3. Terjadi antara “naik ke atau turun dari pesawat”
4. Orang itu harus mempunyai tujuan ikut terbang;
-luka atau tewas
-pesawat terbang mengalami kerusakan.
Jadi suatu kejadian baru dapat disebut kecelakaan apabila memenuhi lima unsur diatas.Unsur no1.2.3 dan5 memenuhi syarat pasal 24,sedangkan unsure no 4 tidak disebut dalam ps24 O.P.U.
Ad.b.
Bilakah suatu kecelakan ada hubungan dengan pengangkutan udara?
Misalkan 2 orang penumpang berkelahi sehingga menderita luka-luka.hal ini dapat dianggap suatu kejadian (dalam arti yang sangat luas),namun tidak dapat dianggap mempunyai hubungan dengan pengangkutan udara.jadi pengangkut tidak bertanggung jawab.
Kejadian ini berkait langsung pada “Hukum Pidana Udara” dan “Hukum Perdata” yang diselesaikan oleh penumpang itu sendiri.
Sebaliknya pengangkut udara akan bertanggung jawab apabila seseorang penumpang mati karena kejatuhan benda yang terlepas dari ikatannya akibat gerakan pesawat.jadi ada hubunganya dengan pengangkutan udara.
Dalam hal penumpang jatuh sakit selama dalam penerbangan,misalnya “mabuk udara” atau “mengalami tekanan jiwa” sehingga seminggu kemudian ia meninggal dunia,atau penumpang itu memang sudah sakit lalu meninggal dunia selama dalam penerbangan.
Terhadap kedua persoalan ini dapat terjadi 2 (dua) kemungkinan yakni:
1. Apakah hubungan sakitnya itu justru menjadi parah karena terbang?jadi ada hubungan dengan pengangkut udara;
2. Ataukah sakitnya sedemikian rupa sehingga sekalipun tidak terbang, juga akan meninggal dunia?
Untuk melindungi pengangkut udara terhadap akibat-akibat yang terlampau luas,harus diberikan keleluasaan pada pengangkut untuk mengadakan suatu persetujuan dengan orang sakit yang minta diangkut bahwa ia bersedia diangkut dan tidak akan mempertanggung jawabkan pengangkut tentang akibat dari penerbangan terhadap sakitnya itu.
Namun,apakah persetujuan seperti ini tidak melanggar ketentuan Ps. 32 O.P.U. yang menyatakan bahwa “setiap syarat perjanjian untuk meniadakan tanggung jawab pengangkut udara adalah batal”.
Persetujuan itu dianggap tidak melanggar Ps. 32 O.P.U. asalkan tidak menyimpang dari ketentuan tentang tanggung jawab pengangkut.
Sebagai contoh dikutip teks yang lazim digunakan oleh PT. Garuda Indonesia dalam hal “pengangkutan penumpang sakit yang diangkut dengan tandu” sebagai berikut:
2 Ia bersedia diangkut dengan pesawat terbang PT. Garuda Indonesia;
3 Pengangkutan dilakukan tanpa mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan dengan surat pernyataan ini;
4 Segala akibat buruk dari pengangkutan ini adalah diluar tanggung jawab pengangkut,kecuali disebabkan karena suatu kecelakaan / kejadian akibat kesalahan pengangkut;
5 Ia akan membebaskan pengangkut (termasuk agen-agen dan pegawai pengangkut) dari segala tuntutan kerugian;
6 Ia akan mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan pengangkut berhubung dengan akibat-akibat buruk pengangkutan ini bagi kesehatan penumpang atau kematianya.
dari teks perjanjian diatas,terlihat bahwa semua hal yang ditetapkan oleh O.P.U tetap menjadi tanggung jawab pengangkut. Jadi tidak melanggar Ps. 32 ; sehingga persetujuan tersebut dapat ditafsirkan sebagai penegasan terhadap ketentuan-ketentuan O.P.U.
pengangkut hanya menyatakan diri tidak bertanggung jawab dalam hal “kematian si sakit” adalah karena sifat penyakitnya,bukan karena ada hubungan dengan pengangkutan udara atau ada kecelakaan yang terjadi selama dalam penerbangan.

Masalah penumpang yang jatuh sakit atau meninggal dalam pesawat.
*Misalnya mabuk udara,
Apakah pengangkut bertanggung jawab?
Tidak,karena meskipun sakitnya itu memang ada hubungan dengan pengangkutan udara,tapi tidak ada kecelakaan yang terjadi.
Lain halnya bila penumpang tersebut karena mabuk udara,inginkekamar kecil lalu jatuh dan tanganya patah.
*Contoh lain,misalnya terjadi “pendaratan darurat” dirawa-rawa. Tidak terdapat penumpang yang tewas tetapi ada yang luka-luka.
Penumpang yang satu setelah dirawat dt RS selama sebulan,sembuh. Tapi penumpang kedua demikian terkejutnya karena kejadian ini sehingga terganggu urat-syarafnya.
Penumpang ketiga,ketika diselamatkan,terjatuh dan mendapat luka-luka.
Penumpang I -Pengangkut udara bertanggung jawab
Penumpang II -Perlu diteliti apakah dipenuhi syarat untuk tanggung jawab pengangkut? Apakah pengertian luka-luka atau jejas-jejas(injury) pada tubuh meliputi pula gangguan urat syaraf?
Yurisprudensi pengadilan New York menyatakan bahwa pengangkut tidak dapat bertanggung jawab untuk sifat-sifat penumpang orang demi orang,bila dianggap bertanggung jawab melakukan pemeriksaan kesehatan dan psychiastris yang lengkap terhadap penumpang.Pendapat ini sesuai dengan ketentuan perjanjian warsawa yang menggunakan istilah”luka-luka atau jejas-jejas lain pada tubuh”(Wounding or any other bodily injury).
Untuk memperpaiki perjanjian warsawa,diusulkan agar pengangkut udara bertanggung jawab terhadap “psysical injury” yang meliputi “bodily injury” dan “mental injury”.
Pada kejadian penumpang III,timbul persoalan:
7 Apakah kecelakaan itu ada hubunganya dengan pengangkutan udara? Atau
8 Apakah syarat-syarat Ps. 24 O.P.U. terpenuhi?
Kenyataanya:
a. Syaratnya bahwa “ada kecelakaan” terpenuhi
b. Kecelakaan itu ada hubungan dengan pengangkutan udara dianggap terpenuhi.
c. Kecelakaan terjadi selama dalam pesawat terbang; dan
d. Ada hubungan dengan naik atau turunya dari pesawat terbang.
e. Dan d. perlu penelitian lebih lanjut.
Ad. C.
Bilakah suatu kecelakaan dapat disebut terjadi didalam peswat terbang?
9 Ruang penumpang duduk (cabin) disediakan untuk penumpang dimana terdapat “tempat duduk” dan ada kamar kecil (toilet).sedangkan ruang “awak pesawat” dan “dapur” dilarang bagi penumpang.
Apabila seorang penumpang mengalami kecalakaan didalam salah satu ruangan yang yang terlarang baginya,maka timbul persoalan “apakah kesalahan penumpang turut membantun atau menyebabkan kecelakaaan?
(Periksa Ps. 29 ayat 1bagian kedua)
Bila penumpang tersebut berada dalam ruang terlarang dengan izin awak pesawat,perlu diteliti apakah kewenagan itu dilakukan sesuai batasan yang berlaku?
Jika tidak, maka pengangkut udara dapat membebaskan diri dari tanggung jawab meskipun dengan ketentuan O.P.U adalah kecil kemungkinannya

Senin, 24 November 2008

Menurut pasal 22, pengirim dan penerima masing-masing atas nama sndiri, dapat dipergunakan hak-hak masing-masing yang diberikan oleh pasal 15 dan 16, baik untuk kepentingan sendiri-sendiri maupun untuk kepentingan orang lain dengan syarat bahwa mereka memenuhi semua kewajiban yang timbul dari persetujuan pengangkutan.

Pasal 23, tidak mengurangi hubungan antara pengirim dan penerima dan hubungan dengan pihak ketiga yang mempunyai hak-hak berasal dari pengirim, maupun penerima.

Jika dilihat pasal 15,16,23, dan 22 berkaitan dengan masalah perdagangan surat muatan udara. Namu demikian, baik O.P.U.maupun Warsaw Convention tidak menyataka dengan tegas apakah surat muatan udara dapat diperdagangkan, namun demikian pasal 8 (f) Warsaw Convention dan pasal 10 (f) O.P.U. membuka kemungkinan untuk itu.

Dalam upaya memperbaiki Warsaw Convention, hal ini dicantumkan dalam protocol Den Haag tahun1955 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan protokol tidak menghalangi (boleh) mengangkut untuk memberikan suatu surat muatan udara yang dapat diperdagangkan.

Dalam praktek, ketidak tegasan ini dihindari oleh airline dengan mencantumka pada .S.M.U. syarat “NOT NEGOTIABLE”.

Bagi pengangkut, S.M.U. yang dapat diperdagangkan mungkin akan merugikan dari segi tanggung jawab, karena apabila barang kiriman terlalu lama ditahan dalam gudang sambil menunggu lakunya S.M.U. maka jangka waktu tanggung jawab akan semakin lama dan mungkin akan timbul kerusakan.

Terlepas dari adanya keberatan dalam hal tanggung jawab oleh pengangkut, ada beberapa hal positif yang sejalan dengan pembuat konvensi tentang keuntungan dari “NEGOTIABLE AIR WAYBIL” yaitu:

a. Apabila S.M.U. sampai lebih awal dari barang, barang tersebut dapat dijual kembali, pembeli kedua dapat menerima kiriman barang tersebut.
b. Ada kemungkinan bagi penjual untuk mengambil uang pembayaran di bank sebelum pembeli membayar barang, dan bagi pembeli tidak akan membayar sampai barang tersebur dikuasai/dimiliki.
c. Selama waktu barang tersebut dalam perjalanan atau penguasaan pengangkut, air waybill trsebut dapat diperdagangkan.


4. BENTUK DOKUMEN ANGKUTAN LAIN

Pada “General Aviation” seperti PT. Pelita Air Service, dijumpai bentuk dokumen angkutan yang dinamakan “IZIN MENUMPANG PESAWAT” Dan “IZIN MENAGNGKUT BARANG” yang fungsinya sama dengan tiket penumpang atau Surat Muatan Udara.

PERJANJIAN ANTAR PENGANGKUT
(INTERLINE AGREEMENT)

Pasal 3 Ordinasi Pengangkutan Udara (O.P.U) dan pasal 30 Warsaw Convention menyatakan “Pengangkutan udara yang dilakukan berturu-turut oleh beberapa pengangkut udara bagi berlakunya peraturan ini dianggap sebagai satu perbuatan dengan tidak memandang apakah dilakukan berdasarkan satu perjanjian atau beberapa perjanjian”

Sedangkan pasal 45 Undang-Undang No. 15 tahun1992 menyatakan bahwa “Pengangkutan udara yang dilakukan berturu-turut oleh beberapa perusahaan angkutan udara, dianggap sebagai satu pengangkuta udara, apabila oleh pihak-pihak yang bersangkutan diperjanjikan sebagai satu perjanjian pengangkutan udara”

Perbedaan antara O.P.U. dan Warsaw Convention dan Undang-Undang No. 15 tahun 1992 dalah bahwa untuk keetentuan pertama perjanjian tidak harus dalam satu perjanjian pengankutan sedangkan ketentuan kedua ada keharusan untuk membuat dalan satu perjanjian angkutan.


ASPAK-ASPEK HUKUM PADA
CHARTER PESAWAT UDARA

Secara teknis operasional, masalh charter di Indonesia ada peraturannya dari segi hukum, terutama mengenai “dokumen angkutan” dan “tanggung jawab” belum diatur dan masih harus diteliti apakah O.P.U. dapat diberlakukan.

Karena dokumen angkutanmerupakan bukti adanya perjanjian angkutan, maka penagngkut harus memberikan ticket walaupun berbentuk “kolektif” terutama dalam hal angkutan rombongan, termasuk ticket yang diberikan oleh pihak yang bukan pelaksana angkutan itu sendiri.

Ps. 2 (1) O.P.U. Dengan tegas menyatakan bahwa O.P.U. tidak berlaku terhadap hal-hal berikut:

a. Pengangkutan udara tanpa bayaran yang tidak diselenggarakan oleh suatu
perusahaan angkutan udara
b. Angkutan udara yang dilikukan dalam keadaan luar biasa menyimpang dari usaha normal dari suatu perusahaan angkutan udara.

Ps. 2(2) Ordinasi juga tidak berlaku untuk angkutan pos, angkutan dengan pesawat militer, bea cukai atau polisi




Pasal 1(1)
Konvensi Warsawa menetapkan :

Konvensi akan berlaku untuk semua angkutan penumpang, bagasi atau barang (termasuk angkutan udara tanpa bayaran) yang dilakukan oleh suatu perusahaan angkutan udara.

Pasal 2 (1)
Menetapkan bahwa angkutan udara dengan pesawat Negara akan tunduk pada Konvensi asalkan memenuhi syarat dalam pasal 1 (1), akan tetapi bagi angkutan pos sama sekali tidak berlaku Konvensi Warsaw (Ps.2 ayat 2)

Mengenai istilah “Pengankut” terdapat kendala yakni bahwa perjanjian angkutan dilakukan satu pihak sedangkan angkutannya sendiri dilaksanakan oleh pihak lain yang tidak mempunyai hubungan perjanjian angkutan dengan pihak yang diangkut.

Kendala ini dalam angkutan udara internasional dihilanhkan melalui Konvensi Guadalaraja yang membedakan antara “Contracting carrier”
Dan “Actual Carrier”. Sedangkan mengenai tanggung jawab ditetapkan bahwa keduanya bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Pada prinsipnya pihak yang bertanggung jawab dalam hal angkutan charter adalah pihak yang membuat perjanjian angkutan.

Contracting Carrier : Pihak yang membuat perjanjian angkutan:
Actual Carrier : Pihak yang melaksanakan angkutan berdasarkan
Perjanjian yang dibuat oleh Contracting Carrier.



TANGGUNG JAWAB PADA PENGANGKUTAN PENUMPANG
(MENURUT ORDINASI PENGANGKUTAN UDARA)

PRINSIP / SISTEM TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

1. PRESUMPTION OF LIABILITY yaitu pengangkut dianggapbertanggung jawab dan wajib membayar kompensasi kepada penumpang atau pengirim barang.
2. PRESUMPTION OF NON-LIABILITY yaitu pengangkut dianggap tidak sealau bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang.
3. LIMITATION OF LIABILITY Yaitu pengangkut bertanggung jawab sampai dengan batas tertntu terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang.
4. ABSOLUTE LIABILITY yaitu pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang, tanpa kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab.
5. STRICT LIABILITY yaitu pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang, tanpa kemungkinan untuk membebaskan diri.
6. FLAT RATE yaitu semua penumpang mendapat ganti rugi yang sama tanpa melihat status penumpang.

Senin, 17 November 2008

LINGKUP BERLAKUNYA ORDONASI PENGANGKUTAN UDARA (OPU)

LINGKUP BERLAKUNYA ORDONASI PENGANGKUTAN UDARA (OPU)

OPU tidak berlaku bagi : (Pasal 2)

a. Pengangkutan udara tanpa bayaran, yang tidak diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara.

b. Pengangkutan udara yang dilakukan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara sebagi suatu percobaan pertama berhubungan dengan maksud mengadakan izin penerbangan teratur.

c. Pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar biasa menyimpang dari normal dari suatu perusahaan penerbangan.

Contoh (a) : Pengangkutan udara yang dilakukan oleh pesawat udara milik PT. Sampurna (sebuah perusahaan rokok) untuk mengangkut pejabat atau pegawai PT. tersebut ke perkebunan tembakau. Jika dalam pengangkutan ini mengalami kecelakaan, maka ahli waris penumpang tidak dapat menuntut tanggung jawab sesuai ketentuan OPU.

Contoh (b) : PT. Sky Airways dalam rangka membuka rute penerbangan baru membawa penumpang yang terdiri dari wartawan, agen perjalanan, dan pejabat dari Jakarta ke Cilacap. Apabila dalam penerbangan tersebut mengalami kecelakaan, maka terhadap pengangkutan tersebut tidak berlaku ketentuan OPU. Namun demikian, apabila dalam penerbangan tersebut terdapat penumpang umum yang membali tiket, maka terhadap mereka berlaku ketentuan OPU.

Contoh (c) : dalam penerbangan antara Jakarta dan Biak, pesawat udara milik PT. Sky Airways dibajak oleh sekelompok terroris local. Apabila dalam kejadian oleh pembajak, maka ketentuan OPU tidak dapat dipergunakan dalam menuntut tanggung jawab pengangkut.

Apakah OPU berlaku bagi pengangkutan udara charter?

Ketentuan OPU berlaku juga bag angkutan udara Charter karena dalam pasal 2 OPU angkutan udara charter tidak termasuk dalam pengecualian berlakunya OPU.

SYARAT-SYARAT PERJANJIAN :

*tERCANTUM DALAM DOKUMEN ANGKUTAN UDARA;

Misalnya : bahwa dokumen angkutan udara harus tunduk pada ketentuan-ketentuan O.P.U. atau perjanjian Warsawa dan tercantum dalam dokumen angkutan, tarif yang berlaku, syarat-syarat umum pengangkutan dan peraturan lain dan pengangkutan.
Contoh : “REFUND TICKET”

*O.P.U. maupun Warsaw Counvention sangat ketat mengatur masalah dokumen angkutan karena terkait langsung dengan tanggung jawab pengangkut.

Contoh : Pasal 5 ayat (2) O.P.U. dan Ps. 3 ayat (2) Warsaw Convention untuk Pengangkutan Penumpang menetapkan bahwa :

“apabila pengangkut menerima seseorang untuk diangkut tanpa memberikan tiket kepada orang tersebut, pengangkut tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan O.P.U. maupun Warsaw Convention untuk meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya”.

TIKET PENUMPANG

Harus memuat keterangan sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal pemberian;
b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c. Tempat-tempat persinggahan / pendaratan;
d. Nama dan alamat pengangkut atau para pengangkut;
e. Pemberitahuan bahwa pengangkut udara tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam Ps. 5 ayat (1) O.P.U. dan Ps. 3 ayat (1) Warsaw Convention.

Bagaimana dengan nama penumpang?

O.P.U. maupun Warsaw Convention tidak mengatur hal ini. Namun dalam praktek, semua tiket penumpang mencantumkan “nama penumpang” disamping syarat tidak dapat dialihkan pada orang lain (no transferable).

Bagaimana jika pengangkut tidak mencantumkan salah satu dari keterangan-keterangan tersebut di atas?

Sesuai Pasal 5 ayat (2) perjanjian pengangkutan udara tetap berlaku sesuai ketentuan OPU. Akam tetapi bila pengangkut uadara menerima seorang penumpang tanpa memberikan tiket penumpang, pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini untuk meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya. Pengangkut dapat dituntut tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liability).

Pengangkut yang hanya memberikan secarik kertas atau kwitansi tanpa memuat keterangan-keterangan layaknya sebuah tiket sebagai tanda persetujuan pengangkutan udara dianggap tidak memberikan tiket penumpang.

Bagaimana jika pengangkut tidak mencantumkan keterangan bahwa pengangkutan ini tunduk oleh OPU ?

Pengankut dapat dituntut tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liability).

TIKET BAGASI

Harus memuat keterangan sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal pemberian.
b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan.,
c. Nama dan alamat pengangkut atau para pengangkut.
d. Nomor tiket penumpang.
e. Pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi.
f. Jumlah dan berat barang / bagasi.
g. Harga yang diberitahukan oleh penumpang (sesuai Ps. 30 ayat (2).
h. Pemberitahuan bahwa pengangkut udara tuduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam O.P.U. Ps. 6 ayat (4) dan Warsaw Convention Ps. 4 ayat (5).

Terhadap butir (d), (f) dan (h) apabila tidak diberikan tiket bagasi dikenakan sanksi yang sama dengan tiket penumpang.
Namun demikian, dikarenakan dalam pelaksaan sehari-hari dianggap kurang praktis, maka tiket bagasi oleh Tha Hague Protocol 1955 diubah dengan yang sekarang dikenal dengan ‘claim tag’.

Bagaimana dengan bagasi tangan ?
Bagasi tangan (unchecked baggage / unregistered baggage / cabin baggage) dikecualikan dari pengertian bagasi dan tidak perlu diberikan tiket bagasi, waktu biasanya diberikan suatu table tertentu yang secara yuridis tidak mempunyai arti apa-apa.

SURAT MUATAN UDARA (S.M.U.)

Pasal 7 O.P.U. menyatakan :

1) Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta pada pengirim untuk membuat dan / atau memberikan suatu surat yang dinamakan “surat muatan udara”.
Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut untuk menerima surat tersebut.

2) Meskipun demikian, tidak adanya surat tersebut suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya dokumen tersebut, tidak mempangaruhi adanya atau berlakunya Perjanjian Penangkutan Udara, yang tetap tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi kecuali apa yang ditentukan dalam Pasal 11

Pasal 11 menyatakan :
Bila pengakut menerima barang untuk diangkut tanpa dibuat suatu surat muatan udara, atau bila surat muatan udara tidak memuat semua keterangan-keterangan yang disebut dalam pasal 10 (a sampai I dan q) pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini yang meniakan atau membatasi tanggung jawabnya.

Dari Pasal 7 dikaitkan dengan Pasal 13 O.P.U. ini dapat diartikan bahwa :

1. Dengan adanya kata “berhak” menimbulkan kesan seolah-olah “pengirim” tidak diberikan satu kewajiban yang mengikat untuk mengeluarkan surat muatan udara. Begitu pula yang berlaku untuk pengirim (Pasal 7 ayat 1).

2. Kesan tidak adanya keharusan atau kewajiban ini dipatahkan/di eleminasi oleh ketentuan ayat 2 yaitu bahwa apabila pengirim tidak mencantumkan keterangan-keterangan dalam pasal 10 butir a s/d e dan diterima oleh pengangkut, maka pengangkut tidak dapat menghindarkan dari tanggung jawab yang diatur dalam ordonansi ini.

3. Pengirim barang bertanggung jawab kejelasan dan kejujuran terhadap keterangan-keterangan yang dibuat dalam surat muatan udara. Pengirim bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan yang dialami oleh pengangkut atau kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat dari ketidak jelasan (inaccurate) ketidak benaran (incorrect) atau ketidak lengkapan keterangan-keterangan yang diberikan, kecuali bila ada kesalahan pada pengangkutan. Pengangkutan tidak berkewajiban untuk memeriksa kebenaran atau kejelasan dari keterangan-keterangan yang tertera di dalam dokumen.

4. Jika dikaitkan dengan Pasal 11 O.P.U., maka persyaratan yang sama diterapkan sebagaimana untuk pasal 5 (2) O.P.U. dan ps. 3 (2) Warsaw Convention tentang Kelalaian (tidak) memberikan tiket.

5. Jika dikaitkan dengan ps.13, maka pengangkut dapat menghindari atau meniadakan tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan O.P.U. apabila keterangan-keterangan yang diberikan pengirim tidak benar, tidak sesuai atau tidak lengkap.

Pasal 7 berkaitan dengan masalah “pembuktian” mengenai keterangan-keterangan yang diberikan untuk barang yang akan diangkut. Perbedaan dibawah ini harus diperhatikan :

a. Untuk keterangan tentang berat, juga jumlah atau besar atau ukuran barang dan cara pembungkusan, keterangan-keterangan tersebut di dalam Surat Muatan Udara menegaskan “prima facie” tentang pembuktian/alat bukti.

b. Keterangan-keterangan yang berhubungan dengan kuantitas, volume dan tanda-tanda istimewa pada barang tidak menegaskan atau tidak dapat dijadikan alat bukti terhadap pengangkutan kecuali barang-barang tersebut diperiksa oleh pengangkutan dihadapan pengirim dan hasil-hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam surat muatan udara atau tanda-tanda istimewa atau keadaan wujud barang yang terlihat nyata diakui oleh kedua belah pihak.

* Surat Muatan Udara harus ditandatangani. Pasal 8.
* Dibuat dalam rangkap tiga (semuanya asli) Pasal 8.

> Yang pertama, dengan kata “untuk pengangkutan” ditanda tangani oleh pengangkutan (dapat diganti dengan cap).
> Yang kedua, dengan kata “untuk pengirim” ditanda tangani oleh pengirim (dapat dicetak atau diganti dengan cap).
> Yang ketiga, ditanda tangani oleh pengangkut dan setelah barang diterimanya, diserahkan pengirim.

* Surat Muatan Udara merupakan bukti tentang persetujuan pengangkutan penerimaan barang-barang dan syarat-syarat pengangkutan. Kecuali ditentukan sebaliknya. (pasal 14).

Pasal 15,16 dan 22, masing-masing menyebutkan hak pengirim dan penerima visa pengangkut. Menurut pasal 15, pengirmin berhak untuk menguasai barang, asal ia dapat memenuhi kewajiban-kewajiban untuk pengangkutan udara, dengan cara :

a. Mengambil barang-barang tersebut kembali di bandar udara pemberangkatan atau Bandar udara tujuan;
b. Menahan barang-barang itu pada suatu pendaratan selama perjalanan;
c. Menyuruh menyerahkan di tempat-tempat tujuan atau selama perjalanan kepada orang lain, selain nama penerima yang tersebut dalam S.M.U.
d. Meminta barang-barang itu di kirim kembali ke bandar udara pemberangkatan.

Kesemua hak-hak itu tergantung dari kewajiban-kewajiban yang dipikul oleh pengangkut sebagaimana tertuang dalam perjanjian pengangkutan. Meskipun demikian, pengirim tidak dapat melaksanakan haknya apabila pelaksanaan tersebut merugikan pengangkutan atau pengirim lainnya, dan apabila dilaksanakan, pengirim harus membayar semua biaya yang ditimbulkan..

Apabila pengangkut melaksanakan kehendak pengirim, pengangkut wajib untuk meminta S.M.U. lanjutan dari pengirim untuk diserahkan kepada pengirim tempat barang tersebut di bongkar. Jika hal ini tidak dilakukan oleh pengangkut, maka pengangkut bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh orang yang secara sah memiliki S.M.U. lanjutan tersebut, tanpa merugikan hak penggantian (right of recovery) pengirim.

Hak pengirim efektif berakhir pada saat barang tersebut diterima pleh penerima (Pasal 16), tetapi apabila penerima menolak untuk menerima S.M.U. atau barang-barang tersebut, atau kija penerima tidak dapat dihubungi, hak pengirim tetap berlaku.

Jika dilihat dari hak penerima, pasal 16 menyatakan bahwa penerima mempunyai hak untuk segera setibanya barang di tempat tujuan menuntut penyerahkan S.M.U. dan barang-barang, dengan membayar biaya-biaya yang harus dibayar dan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan pengangkutan udara seperti ditentukan dalam S.M.U.

Apabila barang-barang tidak sampai di tempat tujuan dan pengangkutan menyatakan barang-barang hilang (lost), penerima berhak untuk melakukan penuntutan kepada pengangkut, sesuai dengan perjanjian pengangkutan. Tuntutan serupa dapat dilakukan apabila barang tidak dating/sampai dalam wantu 7 hari dari waktu yang telah ditetapkan.

Minggu, 02 November 2008

HUKUM UDARA DI INDONESIA

SUMBER HUKUM UDARA INDONESIA

  1. UNDANG-UNDANG / PERATURAN
    1. Stbl. 118 Tahun 1933 : Tentang Pokok-pokok Penerbangan
    2. Stbl. 205 Tahun 1954 : Diganti dengan UU No 83 Tahun 1958

Tentang Penerbangan

Diganti dengan UU No. 15 Tahun 1992

c. Stbl. 425 Tahun 1936 : Tentang Lalu Lintas Udara

Secara Yuridis Formal masih berlaku, karena belum diganti. Namun dalam praktek Indonesia telah memakai aturan lain yaitu C.A.S.R. (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) dari A.S

D. Stbl. 426 Tahun 1936 : Tentang Peraturan Pengawasan Penerbangan

Secara yuridis formal masih berlaku, karena belum diganti. Namun dalam praktek Indonesia telah memakai aturan lain yaitu C.A.S.R (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) dari A.S.

e.. Stbl. 100 Tahun 1939 : Ordonansi Pengangkutan Udara (O.P.U)

- mangatur tentang pengangkutan penumpang, bagasi dan barang.

- mangatur tanggung jawab pengangkut

Ketentuan-ketentuan dalam O.P.U ini masih tetap berlaku. Kecuali ketentuan mengenai jumlah ganti rugi yang diatur dalam PP 40/95- Angkutan Udara

f. Stbl. 150 Jo. 149 Tahun 1939 : Tentang Karantina Pencegahan Penyebaran Penyakit Menular.

Ketentuan ini telah dicabut dengan undang-undang No. 2 Tahun 1952 Tentang Karantina

  1. PERJANJIAN-PERJANJIAN INTERNASIONAL
    1. Chicago Convention 1944 - Tentang Penerbangan Sipil Internasional
    2. Warsaw Convention 1929 - Tentang Dokumen Angkutan dan Tanggungjawab Pengangkut.

Akan diganti dengan “Montreal Convention” pada bulan Mei 1999

c. Rome Convention 1933 - Tentang Tanggungjawab Pengangkut Udara Terhadap Pihak Ketiga di Darat

d. Tokyo Convention 1965 -Tentang Tindak Melawan Hukum di dalam Pesawat

e. The Hague Convention 1970 -Tentang Tindak Melawan Hukum Terhadap Pesawat

f. Montreal Convention 1971 -Tentang Tindak melawan hokum yang membahayakan keselamatan penerbangan.

Kecuali Rome Convention 1952, semua konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia, Indonesia tundik pada ketentuan-ketentuan ini.

  1. PERSETUJUAN-PERSETUJUAN ANTARA PENGANGKUT DAN PENUMPANG ATAU PENGIRIM BARANG

Persetujuan ini dibuat oleh IATA ( International Air Transport Association) intuk membuat persetujuan tentang syarat-syarat umum pengangkutan (General Conditions of Carriage), berdasarkan ketentuan Perjanjian Warsawa 1929.

Tujuannya untuk menyeragamkan persyaratan bagi semua anggotanya dalam hal Pengangkutan Udara.

  1. ILMU PENGETAHUAN
    1. IATA maupun ICAO selalu menerbitkan publikasi tentang Penerbangan, termasuk Keputusan-keputusan pengadilan mengenai hokum udara, misalnya “REPORTS ON AIR CARRIERS’S LIABILITY”.
    2. Lembaga pendidikan yang sangat terkenal dalam penelitian dan pengembangan hokum udara adalah “INSTITUTE FOR AIR AND SPACE LAW, Mc.GILL UNIVERSITY, MONTREAL-CANADA.

  1. PUTUSAN HAKIM/PENGADILAN
    1. Keputusan Pengadilan tentang kasus-kasus tanggung jawab (liability) pengangku udara.
    2. Yurisprudensi.




PERJANJIAN ANGKUTAN UDARA

ARTI SEMPIT

Perjanjian antara pengangkut udara dengan pihak penumpang atau pihak pengirim barang untuk mengangkut penumpang/barang dengan imbalan bayaran atau suatu prestasi lain.

ARTI LUAS

Merupakan sebagian dari perjanjian pemberian jasa dengan pesawat udara.

Bentuk Perjanjian Angkutan Udara

  1. Berjadwal / Teratur
    • Tidak dijumpai pejanjian tertulis
    • Dokumen angkutan (tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara) bukan merupakan perjanjian angkutan udara, tetapi hanya merupakan suatu bukti adanya perjanjian angkutan udara, karena tanpa diberikannya dokumen angkutan, tetap ada suatu perjanjian angkutan.

Lihat :

§ Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (5), Pasal 7 ayat (2) O.P.U

§ Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (4), Pasal 5 ayat (2), Warsaw Convention yang dipertegas oleh,

§ Protokol Den Haag 1955 Pasal 3 yang merubah Pasal 3 ayat (2) Perjanjian Warsawa (tentang tiket penumpang) dan Pasal 4 dan Pasal 6 Protokol Den Haag (tentang tiket bagasi dan surat muatan udara).

  1. Tidak Berjadwal / Charter
    • Biasanya setiap perusahaan penerbangan mempunyai “standard charter agreement” tersendiri (dalam hal pencharter sendiri yang diangkut.
    • Adanya perjanjian tertulis
    • Untuk blackspace charter (charter kapasitas pesawat) untuk dijual kembali kepada pihak lain, dipergunakan bentuk perjanjian lain.
    • Untuk “time charter” (sewa untuk jangka waktu tertentu) dan “Voyage Charter” (sewa untuk satu rute tertentu) tidak dapat dipergunakan bentuk charter agreement seperti diatas, karena dalam kaitannya dengan tanggung jawab tidak/kurang menggambarkan keadaan yang sebenarnya.