Senin, 17 November 2008

LINGKUP BERLAKUNYA ORDONASI PENGANGKUTAN UDARA (OPU)

LINGKUP BERLAKUNYA ORDONASI PENGANGKUTAN UDARA (OPU)

OPU tidak berlaku bagi : (Pasal 2)

a. Pengangkutan udara tanpa bayaran, yang tidak diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara.

b. Pengangkutan udara yang dilakukan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara sebagi suatu percobaan pertama berhubungan dengan maksud mengadakan izin penerbangan teratur.

c. Pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar biasa menyimpang dari normal dari suatu perusahaan penerbangan.

Contoh (a) : Pengangkutan udara yang dilakukan oleh pesawat udara milik PT. Sampurna (sebuah perusahaan rokok) untuk mengangkut pejabat atau pegawai PT. tersebut ke perkebunan tembakau. Jika dalam pengangkutan ini mengalami kecelakaan, maka ahli waris penumpang tidak dapat menuntut tanggung jawab sesuai ketentuan OPU.

Contoh (b) : PT. Sky Airways dalam rangka membuka rute penerbangan baru membawa penumpang yang terdiri dari wartawan, agen perjalanan, dan pejabat dari Jakarta ke Cilacap. Apabila dalam penerbangan tersebut mengalami kecelakaan, maka terhadap pengangkutan tersebut tidak berlaku ketentuan OPU. Namun demikian, apabila dalam penerbangan tersebut terdapat penumpang umum yang membali tiket, maka terhadap mereka berlaku ketentuan OPU.

Contoh (c) : dalam penerbangan antara Jakarta dan Biak, pesawat udara milik PT. Sky Airways dibajak oleh sekelompok terroris local. Apabila dalam kejadian oleh pembajak, maka ketentuan OPU tidak dapat dipergunakan dalam menuntut tanggung jawab pengangkut.

Apakah OPU berlaku bagi pengangkutan udara charter?

Ketentuan OPU berlaku juga bag angkutan udara Charter karena dalam pasal 2 OPU angkutan udara charter tidak termasuk dalam pengecualian berlakunya OPU.

SYARAT-SYARAT PERJANJIAN :

*tERCANTUM DALAM DOKUMEN ANGKUTAN UDARA;

Misalnya : bahwa dokumen angkutan udara harus tunduk pada ketentuan-ketentuan O.P.U. atau perjanjian Warsawa dan tercantum dalam dokumen angkutan, tarif yang berlaku, syarat-syarat umum pengangkutan dan peraturan lain dan pengangkutan.
Contoh : “REFUND TICKET”

*O.P.U. maupun Warsaw Counvention sangat ketat mengatur masalah dokumen angkutan karena terkait langsung dengan tanggung jawab pengangkut.

Contoh : Pasal 5 ayat (2) O.P.U. dan Ps. 3 ayat (2) Warsaw Convention untuk Pengangkutan Penumpang menetapkan bahwa :

“apabila pengangkut menerima seseorang untuk diangkut tanpa memberikan tiket kepada orang tersebut, pengangkut tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan O.P.U. maupun Warsaw Convention untuk meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya”.

TIKET PENUMPANG

Harus memuat keterangan sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal pemberian;
b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;
c. Tempat-tempat persinggahan / pendaratan;
d. Nama dan alamat pengangkut atau para pengangkut;
e. Pemberitahuan bahwa pengangkut udara tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam Ps. 5 ayat (1) O.P.U. dan Ps. 3 ayat (1) Warsaw Convention.

Bagaimana dengan nama penumpang?

O.P.U. maupun Warsaw Convention tidak mengatur hal ini. Namun dalam praktek, semua tiket penumpang mencantumkan “nama penumpang” disamping syarat tidak dapat dialihkan pada orang lain (no transferable).

Bagaimana jika pengangkut tidak mencantumkan salah satu dari keterangan-keterangan tersebut di atas?

Sesuai Pasal 5 ayat (2) perjanjian pengangkutan udara tetap berlaku sesuai ketentuan OPU. Akam tetapi bila pengangkut uadara menerima seorang penumpang tanpa memberikan tiket penumpang, pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini untuk meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya. Pengangkut dapat dituntut tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liability).

Pengangkut yang hanya memberikan secarik kertas atau kwitansi tanpa memuat keterangan-keterangan layaknya sebuah tiket sebagai tanda persetujuan pengangkutan udara dianggap tidak memberikan tiket penumpang.

Bagaimana jika pengangkut tidak mencantumkan keterangan bahwa pengangkutan ini tunduk oleh OPU ?

Pengankut dapat dituntut tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liability).

TIKET BAGASI

Harus memuat keterangan sebagai berikut :
a. Tempat dan tanggal pemberian.
b. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan.,
c. Nama dan alamat pengangkut atau para pengangkut.
d. Nomor tiket penumpang.
e. Pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi.
f. Jumlah dan berat barang / bagasi.
g. Harga yang diberitahukan oleh penumpang (sesuai Ps. 30 ayat (2).
h. Pemberitahuan bahwa pengangkut udara tuduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur dalam O.P.U. Ps. 6 ayat (4) dan Warsaw Convention Ps. 4 ayat (5).

Terhadap butir (d), (f) dan (h) apabila tidak diberikan tiket bagasi dikenakan sanksi yang sama dengan tiket penumpang.
Namun demikian, dikarenakan dalam pelaksaan sehari-hari dianggap kurang praktis, maka tiket bagasi oleh Tha Hague Protocol 1955 diubah dengan yang sekarang dikenal dengan ‘claim tag’.

Bagaimana dengan bagasi tangan ?
Bagasi tangan (unchecked baggage / unregistered baggage / cabin baggage) dikecualikan dari pengertian bagasi dan tidak perlu diberikan tiket bagasi, waktu biasanya diberikan suatu table tertentu yang secara yuridis tidak mempunyai arti apa-apa.

SURAT MUATAN UDARA (S.M.U.)

Pasal 7 O.P.U. menyatakan :

1) Setiap pengangkut barang berhak untuk meminta pada pengirim untuk membuat dan / atau memberikan suatu surat yang dinamakan “surat muatan udara”.
Setiap pengirim berhak untuk meminta kepada pengangkut untuk menerima surat tersebut.

2) Meskipun demikian, tidak adanya surat tersebut suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya dokumen tersebut, tidak mempangaruhi adanya atau berlakunya Perjanjian Penangkutan Udara, yang tetap tunduk kepada ketentuan-ketentuan dalam ordonansi kecuali apa yang ditentukan dalam Pasal 11

Pasal 11 menyatakan :
Bila pengakut menerima barang untuk diangkut tanpa dibuat suatu surat muatan udara, atau bila surat muatan udara tidak memuat semua keterangan-keterangan yang disebut dalam pasal 10 (a sampai I dan q) pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini yang meniakan atau membatasi tanggung jawabnya.

Dari Pasal 7 dikaitkan dengan Pasal 13 O.P.U. ini dapat diartikan bahwa :

1. Dengan adanya kata “berhak” menimbulkan kesan seolah-olah “pengirim” tidak diberikan satu kewajiban yang mengikat untuk mengeluarkan surat muatan udara. Begitu pula yang berlaku untuk pengirim (Pasal 7 ayat 1).

2. Kesan tidak adanya keharusan atau kewajiban ini dipatahkan/di eleminasi oleh ketentuan ayat 2 yaitu bahwa apabila pengirim tidak mencantumkan keterangan-keterangan dalam pasal 10 butir a s/d e dan diterima oleh pengangkut, maka pengangkut tidak dapat menghindarkan dari tanggung jawab yang diatur dalam ordonansi ini.

3. Pengirim barang bertanggung jawab kejelasan dan kejujuran terhadap keterangan-keterangan yang dibuat dalam surat muatan udara. Pengirim bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan yang dialami oleh pengangkut atau kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat dari ketidak jelasan (inaccurate) ketidak benaran (incorrect) atau ketidak lengkapan keterangan-keterangan yang diberikan, kecuali bila ada kesalahan pada pengangkutan. Pengangkutan tidak berkewajiban untuk memeriksa kebenaran atau kejelasan dari keterangan-keterangan yang tertera di dalam dokumen.

4. Jika dikaitkan dengan Pasal 11 O.P.U., maka persyaratan yang sama diterapkan sebagaimana untuk pasal 5 (2) O.P.U. dan ps. 3 (2) Warsaw Convention tentang Kelalaian (tidak) memberikan tiket.

5. Jika dikaitkan dengan ps.13, maka pengangkut dapat menghindari atau meniadakan tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan O.P.U. apabila keterangan-keterangan yang diberikan pengirim tidak benar, tidak sesuai atau tidak lengkap.

Pasal 7 berkaitan dengan masalah “pembuktian” mengenai keterangan-keterangan yang diberikan untuk barang yang akan diangkut. Perbedaan dibawah ini harus diperhatikan :

a. Untuk keterangan tentang berat, juga jumlah atau besar atau ukuran barang dan cara pembungkusan, keterangan-keterangan tersebut di dalam Surat Muatan Udara menegaskan “prima facie” tentang pembuktian/alat bukti.

b. Keterangan-keterangan yang berhubungan dengan kuantitas, volume dan tanda-tanda istimewa pada barang tidak menegaskan atau tidak dapat dijadikan alat bukti terhadap pengangkutan kecuali barang-barang tersebut diperiksa oleh pengangkutan dihadapan pengirim dan hasil-hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam surat muatan udara atau tanda-tanda istimewa atau keadaan wujud barang yang terlihat nyata diakui oleh kedua belah pihak.

* Surat Muatan Udara harus ditandatangani. Pasal 8.
* Dibuat dalam rangkap tiga (semuanya asli) Pasal 8.

> Yang pertama, dengan kata “untuk pengangkutan” ditanda tangani oleh pengangkutan (dapat diganti dengan cap).
> Yang kedua, dengan kata “untuk pengirim” ditanda tangani oleh pengirim (dapat dicetak atau diganti dengan cap).
> Yang ketiga, ditanda tangani oleh pengangkut dan setelah barang diterimanya, diserahkan pengirim.

* Surat Muatan Udara merupakan bukti tentang persetujuan pengangkutan penerimaan barang-barang dan syarat-syarat pengangkutan. Kecuali ditentukan sebaliknya. (pasal 14).

Pasal 15,16 dan 22, masing-masing menyebutkan hak pengirim dan penerima visa pengangkut. Menurut pasal 15, pengirmin berhak untuk menguasai barang, asal ia dapat memenuhi kewajiban-kewajiban untuk pengangkutan udara, dengan cara :

a. Mengambil barang-barang tersebut kembali di bandar udara pemberangkatan atau Bandar udara tujuan;
b. Menahan barang-barang itu pada suatu pendaratan selama perjalanan;
c. Menyuruh menyerahkan di tempat-tempat tujuan atau selama perjalanan kepada orang lain, selain nama penerima yang tersebut dalam S.M.U.
d. Meminta barang-barang itu di kirim kembali ke bandar udara pemberangkatan.

Kesemua hak-hak itu tergantung dari kewajiban-kewajiban yang dipikul oleh pengangkut sebagaimana tertuang dalam perjanjian pengangkutan. Meskipun demikian, pengirim tidak dapat melaksanakan haknya apabila pelaksanaan tersebut merugikan pengangkutan atau pengirim lainnya, dan apabila dilaksanakan, pengirim harus membayar semua biaya yang ditimbulkan..

Apabila pengangkut melaksanakan kehendak pengirim, pengangkut wajib untuk meminta S.M.U. lanjutan dari pengirim untuk diserahkan kepada pengirim tempat barang tersebut di bongkar. Jika hal ini tidak dilakukan oleh pengangkut, maka pengangkut bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan oleh orang yang secara sah memiliki S.M.U. lanjutan tersebut, tanpa merugikan hak penggantian (right of recovery) pengirim.

Hak pengirim efektif berakhir pada saat barang tersebut diterima pleh penerima (Pasal 16), tetapi apabila penerima menolak untuk menerima S.M.U. atau barang-barang tersebut, atau kija penerima tidak dapat dihubungi, hak pengirim tetap berlaku.

Jika dilihat dari hak penerima, pasal 16 menyatakan bahwa penerima mempunyai hak untuk segera setibanya barang di tempat tujuan menuntut penyerahkan S.M.U. dan barang-barang, dengan membayar biaya-biaya yang harus dibayar dan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan pengangkutan udara seperti ditentukan dalam S.M.U.

Apabila barang-barang tidak sampai di tempat tujuan dan pengangkutan menyatakan barang-barang hilang (lost), penerima berhak untuk melakukan penuntutan kepada pengangkut, sesuai dengan perjanjian pengangkutan. Tuntutan serupa dapat dilakukan apabila barang tidak dating/sampai dalam wantu 7 hari dari waktu yang telah ditetapkan.

Tidak ada komentar: