Minggu, 18 Januari 2009

Pada kecelakaan pesawat terbang yang jatuh, dapat dianggap bahwa semua penumpang berada dalam pesawat.
Sedangkan pada "pendaratan darurat" dengan kemungkinan sebagian penumpang berada diatas sayap atau badan pesawat bahkan dibawah sayap dalam upaya meninggalkan pesawat terbang dan ketika itu kecelakaan menimpa dirinya.
Dalam hal ini pengangkut tetap bertanggung jawab.

Ad. d.
Bilakah suatu kecelakaan dikatakan terjadi selama tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang?
*Ketentuan Ps.24 O.P.U. dapat ditafsirkan secara sempit dan secara luas.
(1). Tafsiran secara sempit :
Mulai dari saat penumpang menginjakkan kaki diatas tangga pesawat s/d menginjakkan kakinya kembali diatas tanah.
(2). Tafsiran luas :
Mulai dari saat penumpang dibawah pengawasan pengangkutan atau pegawainya.
a. Yaitu pada saat pegawai pengangkut bertugas mengantarkan penumpang, biasanya dari pintu ke landasan naik ke pesawat.
b. Apabila ditafsirkan sejak penumpang berada digedung terminal atau di restaurant bandar udara, maka penafsiran ini terlampau luas dan memberatkan pengangkut karena gedung terminal bukan kepunyaan pengangkut udara.
Kecuali bila penumpang berada di ruang makan karena akan dihidangkan makanan oleh pengangkut.

*Bila antara pengangkut udara dan penumpang ada persetujuan pengangkutan di darat misalnya untuk mengantarkan ke bandara dari rumah penumpang adalah pratek sepeti "city terminal check-in".

Bila kecelakaan menimpa diri penumpang dalam kendaraan yang disediakan pengangkut udara, maka pengangkut udara tetap bertanggung jawab.

Namun pihak penumpang tidak dapat menggugat berdasarkan ketentuan O.P.U. (Ps.24).

Hal ini diatur oleh ketentuan Hukum Perdata tentang ganti rugi dan tanggung jawab, dan ada kemungkinan akan lebih menguntungkan penumpang karena tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan batas maksimum seperti dalam O.P.U.


TERHADAP SIAPA PENGANGKUT UDARA BERTANGGUNG JAWAB ? ATAU SIAPAKAH YANG BERHAK MENUNTUT GANTI RUGI ADA PENGANGKUT UDARA ?

Pertanyaan ini bersumber pada dua pokok permasalahan :
1. Siapakah yang dapat disebut penumpang?
2. Siapa yang menggantikan penumpang bila penumpang tewas?


Ad.1.

O.P.U. maupun Konvensi Warsawa tidak memberikan definisi tentang "Penumpang". Beberapa upaya untuk memperbaiki Perjanjian Warsawa antara lain :


Draft Convention 1950, membuat definisi sebagai berikut :

Penumpang adalah setiap orang yang diangkut dalam suatu pesawat udara berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan.

Catatan :
Pengertian ini tidak mencakup orang-orang yang ada hubungan kerja dengan pengangkut udara, yang diangkut karena tugas mereka.

Draft Convention 1946, memberikan pengertian sebagai berikut :

Penumpang, adalah setiap orang yang diangkut dalam pesawat udara kecuali awak pesawat (termasuk cabin crew) sedangkan pegawai pengakut udara baik dalam tugas maupun tidak, dianggap sebagai penumpang.

Catatan :
Definisi yang kedua lebih memuaskan bagi pengangkut udara.

Pada Definisi pertama (A) :

O.P.U. tidak berlaku bagi pengangkutan pegawai-pegawai darat ; dengan demikian, ganti rugi bagi pegawai yang menderita luka-luka atau tewas akan lebih besar dari pada penumpang yang membayar.
Ganti rugi untuk pegawai (buruh) yang mengalami kecelakaan selama melakukan tugasnya diatur oleh Undang-Undang Kecelakan yang antara lain menentukan bahwa ganti rugi itu diperhitungkan dari gaji pegawai yang bersangkutan.

Definisi penumpang menurut "Polis Asuransi" :
Penumpang, meliputi semua orang yang masuk ke dalam, diangkut dengan atau turun dari pesawat udara kecuali mereka yang bertindak sebagai awak pesawat (termasuk cabin crew).

Catatan :
Definisi ini terlalu luas, karena ada kemungkinan bahwa pengangkut udara akan bertanggung jawab untuk orang-orang yang tanpa pengatahuannya menyelusup masuk dan diangkut oleh pesawat udara (penumpang gelap).

Dintara syarat-syarat pengangkutan, umumnya terdapat syarat bahwa :"ticket penumpang tidak boleh dipergunakan oleh orang lain" (Un-transferable).
Syarat ini di Indonesia daopat kita temukan didalam Pengaturan Pengawasan Penerbangan (Verordening Toezicht Luchvaart Stb. 1936-426), Pasal 132 yakni :

"Seorang penumpang dilarang berada dalam pesawat udara yang akan berangkat tanpa mempunyai ticket yang sah".

Bila ketentuan ini dilanggar, dikenakan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.100,-

Istilah "ticket yang sah" berarti bahwa ticket harus sesuai dengan persetujuan pengangkutan.

Penumpang yang memakai ticket orang lain (meskipun diperoleh dengan gelap, sehingga terhadapnya berlaku pula Ps. 132 O.P.U.

Undang-Undang di Amerika Serikat tentang penumpang gelap (Stowaways on vesseis or aircraft) menetapkan ancaman hukuman denda setinggi-tingginya $ 1000,- atau hukuman penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau kedua-duanya.

Dari kedua contoh ketentuan diatas, ternyata bahwa penumpang gelap adalah jenis penumpang yang tidak disukai Undang-Undang sehingga patut dipahami bahwa tidak layak bila pengangkut udara diharuskan membayar ganti rugi tanpa batas bila terjadi sesuatu atas penumang istimewa ini atau bagasinya.
Kita cenderung menggunakan secara analogi Ps.29(1) O.P.U. yaitu bahwa bila terdapat kesalahan dari penumpang, maka hakim dapat meniadakan tanggung jawab pengangkut udara.

Oleh karena sebab itu ticket adalah "not transferable" sehingga tidak dapat dipergunakan oleh orang lain, maka prinsipnya "satu ticket atas nama satu orang"

Apakah ada kemungkinan (yang sah tentunya) bahwa ticket dapat dipergunakan oleh lebih dari satu orang, O.P.U. tidak mengatur secara jelas dan tegas. Demikian pula dengan Perjanjian Warsawa, sehingga H. DRION menarik kesimpulan bahwa tidak ada keberatan untuk memberikan satu ticket pada lebih dari satu orang.

Ad.2

Sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (2) OPU, yang berhak menerima santunan apabila penumpang tewas adalah suami atau istri, anak-anaknya, atau orang tuanya yang menjadi tanggungan si korban. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut anak-anak atau orang tua dari korban tidak berhak menerima santunan apabila mereka sudah tidak menjadi tanggungan si korban. Dengan demikian, apabila si korban sudah tidak mempunyai tanggungan baik istri, anak maupun orang tua, tidak ada yang berhak menerima santunan. Ketentuan Pasal 24 ayat (2) berlaku juga terhadap penerima bagasi si korban.

Sedangkan untuk barang yang diangkut dengan surat muatan udara sesuai Pasal 15 dikatakan pengirim atau orang lain yang ditunjuk selain yang disebutkan dalam surat muatan udara berhak menerima barang, sedangkan dalam Pasal 16 dikatakan penerima orang yang disebut dalam surat muatan udara berhak menerima penyerahan barang setelah memenuhi kewajibannya.

Minggu, 11 Januari 2009

Tanggung Jawab Pengangkut

Kejadian yang menimbulkan tanggung jawab pengangkut
Bahwa pengangkut udara bertanggung jawab atas kerugian karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang sehingga penumpang tewas atau luka-luka.kejadian yang menimbulkan kerugian pada diri penumpang,diakibatkan oleh :
1 Kecelakaan pesawat udara dan atau
2 Bukan kecelakaan pesawat udara.
Ada 5 persoalan pokok yang berkaitan dengan hal diatas.
1. Dalam hal-hal apa pengangkut udara bertanggung jawab ?
Pasal 24(1)O.P.U.
“Pengangkutan bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka-luka atau jejas lain pada tubuh,yang diderita oleh seorang penumpang,bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas pesawat udara atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke/atau turun dari pesawat udara “
Unsur-unsur (syarat) ps24 ayat(1) :
a. Ada kecelakan
b. Kecelakaan itu ada hubungnnya dengan pengankutan udara.
c. Kecelakaan itu terjadi didalam pesawat udara,atau selama suatu tindakan dalam hubungan naik ke /atau turun dari pesawat udara.
Perjanjian (konvensi) warsawa-pasal 17,tidak mencantumkan syarat sebagaimana huruf (b)Dengan demikian,syarat-syarat dalam O.P.U lebih mempersempit tanggung jawab pengangkut udara.Namun apabila syarat-syarat itu dibandingkan dengan syarat-syarat untuk adanya tanggung jawab pada pengangkutan barang atau bagasi,maka syarat untuk adanya tanggung jawab pengangkutan penumpang ternyata lebih luas;karena,
Pasal 25 O.P.U menetapkan
“Pengangkutan udara bertanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan kaerna musnah,hilang,rusaknya barang dan bagasi asal saja terjadinya kerugian itu selama pengangkutan udara”(jadi penafsirannya sangat luas)
Kesimpulan :
Apabila seseorang inign meminta ganti rugi untuk kerugian pada diri penumpang,bagasi maupun barang,cukup dengan menunjukkan bahwa kejadian itu memenuhi syarat-syarat dalam Ps 24&25 O.P.U.
Mengenai syarat-syarat pada kedua ketentuan pokok tersebut (ps 24&25) akan timbul persoalan baru misalnya pada pengangkutan penumpang:
a. Kapan suatu kejadian dapat disebut suatu kecelakaan?
b. Kapan kecelakaan itu ada hubungan dengan pengangkutan udara?
c. Bilakah suatu dikaitkan terjadi selama suatu tindakan dalam hubungan dengan naik keatau turun dari pesawat terbang ?
Ad.a
Suatu kecelakaan adalah suatu kejadian yang berhubungan denagn penggunaan pesawat terbang,yakni sejak seseorang mulai naik ke pesawat dengan maksud untuk terbang sampai orang itu meninggalkan pesawat terbang,misalnya :tewas atau luka berat akibat dari berada didalam atau diatas pesawat terbang atau pesawat terbang mengalami kerusakan berat(annex 13 chicago convention 1944 tentang “Aircraft accident injuiry”)
Dengan demikian,terdapat unsur-unsur sbb:
1. Ada kejadian;
2. Kejadian itu ada hubungandengan pesawat terbang
3. Terjadi antara “naik ke atau turun dari pesawat”
4. Orang itu harus mempunyai tujuan ikut terbang;
-luka atau tewas
-pesawat terbang mengalami kerusakan.
Jadi suatu kejadian baru dapat disebut kecelakaan apabila memenuhi lima unsur diatas.Unsur no1.2.3 dan5 memenuhi syarat pasal 24,sedangkan unsure no 4 tidak disebut dalam ps24 O.P.U.
Ad.b.
Bilakah suatu kecelakan ada hubungan dengan pengangkutan udara?
Misalkan 2 orang penumpang berkelahi sehingga menderita luka-luka.hal ini dapat dianggap suatu kejadian (dalam arti yang sangat luas),namun tidak dapat dianggap mempunyai hubungan dengan pengangkutan udara.jadi pengangkut tidak bertanggung jawab.
Kejadian ini berkait langsung pada “Hukum Pidana Udara” dan “Hukum Perdata” yang diselesaikan oleh penumpang itu sendiri.
Sebaliknya pengangkut udara akan bertanggung jawab apabila seseorang penumpang mati karena kejatuhan benda yang terlepas dari ikatannya akibat gerakan pesawat.jadi ada hubunganya dengan pengangkutan udara.
Dalam hal penumpang jatuh sakit selama dalam penerbangan,misalnya “mabuk udara” atau “mengalami tekanan jiwa” sehingga seminggu kemudian ia meninggal dunia,atau penumpang itu memang sudah sakit lalu meninggal dunia selama dalam penerbangan.
Terhadap kedua persoalan ini dapat terjadi 2 (dua) kemungkinan yakni:
1. Apakah hubungan sakitnya itu justru menjadi parah karena terbang?jadi ada hubungan dengan pengangkut udara;
2. Ataukah sakitnya sedemikian rupa sehingga sekalipun tidak terbang, juga akan meninggal dunia?
Untuk melindungi pengangkut udara terhadap akibat-akibat yang terlampau luas,harus diberikan keleluasaan pada pengangkut untuk mengadakan suatu persetujuan dengan orang sakit yang minta diangkut bahwa ia bersedia diangkut dan tidak akan mempertanggung jawabkan pengangkut tentang akibat dari penerbangan terhadap sakitnya itu.
Namun,apakah persetujuan seperti ini tidak melanggar ketentuan Ps. 32 O.P.U. yang menyatakan bahwa “setiap syarat perjanjian untuk meniadakan tanggung jawab pengangkut udara adalah batal”.
Persetujuan itu dianggap tidak melanggar Ps. 32 O.P.U. asalkan tidak menyimpang dari ketentuan tentang tanggung jawab pengangkut.
Sebagai contoh dikutip teks yang lazim digunakan oleh PT. Garuda Indonesia dalam hal “pengangkutan penumpang sakit yang diangkut dengan tandu” sebagai berikut:
2 Ia bersedia diangkut dengan pesawat terbang PT. Garuda Indonesia;
3 Pengangkutan dilakukan tanpa mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan dengan surat pernyataan ini;
4 Segala akibat buruk dari pengangkutan ini adalah diluar tanggung jawab pengangkut,kecuali disebabkan karena suatu kecelakaan / kejadian akibat kesalahan pengangkut;
5 Ia akan membebaskan pengangkut (termasuk agen-agen dan pegawai pengangkut) dari segala tuntutan kerugian;
6 Ia akan mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan pengangkut berhubung dengan akibat-akibat buruk pengangkutan ini bagi kesehatan penumpang atau kematianya.
dari teks perjanjian diatas,terlihat bahwa semua hal yang ditetapkan oleh O.P.U tetap menjadi tanggung jawab pengangkut. Jadi tidak melanggar Ps. 32 ; sehingga persetujuan tersebut dapat ditafsirkan sebagai penegasan terhadap ketentuan-ketentuan O.P.U.
pengangkut hanya menyatakan diri tidak bertanggung jawab dalam hal “kematian si sakit” adalah karena sifat penyakitnya,bukan karena ada hubungan dengan pengangkutan udara atau ada kecelakaan yang terjadi selama dalam penerbangan.

Masalah penumpang yang jatuh sakit atau meninggal dalam pesawat.
*Misalnya mabuk udara,
Apakah pengangkut bertanggung jawab?
Tidak,karena meskipun sakitnya itu memang ada hubungan dengan pengangkutan udara,tapi tidak ada kecelakaan yang terjadi.
Lain halnya bila penumpang tersebut karena mabuk udara,inginkekamar kecil lalu jatuh dan tanganya patah.
*Contoh lain,misalnya terjadi “pendaratan darurat” dirawa-rawa. Tidak terdapat penumpang yang tewas tetapi ada yang luka-luka.
Penumpang yang satu setelah dirawat dt RS selama sebulan,sembuh. Tapi penumpang kedua demikian terkejutnya karena kejadian ini sehingga terganggu urat-syarafnya.
Penumpang ketiga,ketika diselamatkan,terjatuh dan mendapat luka-luka.
Penumpang I -Pengangkut udara bertanggung jawab
Penumpang II -Perlu diteliti apakah dipenuhi syarat untuk tanggung jawab pengangkut? Apakah pengertian luka-luka atau jejas-jejas(injury) pada tubuh meliputi pula gangguan urat syaraf?
Yurisprudensi pengadilan New York menyatakan bahwa pengangkut tidak dapat bertanggung jawab untuk sifat-sifat penumpang orang demi orang,bila dianggap bertanggung jawab melakukan pemeriksaan kesehatan dan psychiastris yang lengkap terhadap penumpang.Pendapat ini sesuai dengan ketentuan perjanjian warsawa yang menggunakan istilah”luka-luka atau jejas-jejas lain pada tubuh”(Wounding or any other bodily injury).
Untuk memperpaiki perjanjian warsawa,diusulkan agar pengangkut udara bertanggung jawab terhadap “psysical injury” yang meliputi “bodily injury” dan “mental injury”.
Pada kejadian penumpang III,timbul persoalan:
7 Apakah kecelakaan itu ada hubunganya dengan pengangkutan udara? Atau
8 Apakah syarat-syarat Ps. 24 O.P.U. terpenuhi?
Kenyataanya:
a. Syaratnya bahwa “ada kecelakaan” terpenuhi
b. Kecelakaan itu ada hubungan dengan pengangkutan udara dianggap terpenuhi.
c. Kecelakaan terjadi selama dalam pesawat terbang; dan
d. Ada hubungan dengan naik atau turunya dari pesawat terbang.
e. Dan d. perlu penelitian lebih lanjut.
Ad. C.
Bilakah suatu kecelakaan dapat disebut terjadi didalam peswat terbang?
9 Ruang penumpang duduk (cabin) disediakan untuk penumpang dimana terdapat “tempat duduk” dan ada kamar kecil (toilet).sedangkan ruang “awak pesawat” dan “dapur” dilarang bagi penumpang.
Apabila seorang penumpang mengalami kecalakaan didalam salah satu ruangan yang yang terlarang baginya,maka timbul persoalan “apakah kesalahan penumpang turut membantun atau menyebabkan kecelakaaan?
(Periksa Ps. 29 ayat 1bagian kedua)
Bila penumpang tersebut berada dalam ruang terlarang dengan izin awak pesawat,perlu diteliti apakah kewenagan itu dilakukan sesuai batasan yang berlaku?
Jika tidak, maka pengangkut udara dapat membebaskan diri dari tanggung jawab meskipun dengan ketentuan O.P.U adalah kecil kemungkinannya