Senin, 24 November 2008

Menurut pasal 22, pengirim dan penerima masing-masing atas nama sndiri, dapat dipergunakan hak-hak masing-masing yang diberikan oleh pasal 15 dan 16, baik untuk kepentingan sendiri-sendiri maupun untuk kepentingan orang lain dengan syarat bahwa mereka memenuhi semua kewajiban yang timbul dari persetujuan pengangkutan.

Pasal 23, tidak mengurangi hubungan antara pengirim dan penerima dan hubungan dengan pihak ketiga yang mempunyai hak-hak berasal dari pengirim, maupun penerima.

Jika dilihat pasal 15,16,23, dan 22 berkaitan dengan masalah perdagangan surat muatan udara. Namu demikian, baik O.P.U.maupun Warsaw Convention tidak menyataka dengan tegas apakah surat muatan udara dapat diperdagangkan, namun demikian pasal 8 (f) Warsaw Convention dan pasal 10 (f) O.P.U. membuka kemungkinan untuk itu.

Dalam upaya memperbaiki Warsaw Convention, hal ini dicantumkan dalam protocol Den Haag tahun1955 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan protokol tidak menghalangi (boleh) mengangkut untuk memberikan suatu surat muatan udara yang dapat diperdagangkan.

Dalam praktek, ketidak tegasan ini dihindari oleh airline dengan mencantumka pada .S.M.U. syarat “NOT NEGOTIABLE”.

Bagi pengangkut, S.M.U. yang dapat diperdagangkan mungkin akan merugikan dari segi tanggung jawab, karena apabila barang kiriman terlalu lama ditahan dalam gudang sambil menunggu lakunya S.M.U. maka jangka waktu tanggung jawab akan semakin lama dan mungkin akan timbul kerusakan.

Terlepas dari adanya keberatan dalam hal tanggung jawab oleh pengangkut, ada beberapa hal positif yang sejalan dengan pembuat konvensi tentang keuntungan dari “NEGOTIABLE AIR WAYBIL” yaitu:

a. Apabila S.M.U. sampai lebih awal dari barang, barang tersebut dapat dijual kembali, pembeli kedua dapat menerima kiriman barang tersebut.
b. Ada kemungkinan bagi penjual untuk mengambil uang pembayaran di bank sebelum pembeli membayar barang, dan bagi pembeli tidak akan membayar sampai barang tersebur dikuasai/dimiliki.
c. Selama waktu barang tersebut dalam perjalanan atau penguasaan pengangkut, air waybill trsebut dapat diperdagangkan.


4. BENTUK DOKUMEN ANGKUTAN LAIN

Pada “General Aviation” seperti PT. Pelita Air Service, dijumpai bentuk dokumen angkutan yang dinamakan “IZIN MENUMPANG PESAWAT” Dan “IZIN MENAGNGKUT BARANG” yang fungsinya sama dengan tiket penumpang atau Surat Muatan Udara.

PERJANJIAN ANTAR PENGANGKUT
(INTERLINE AGREEMENT)

Pasal 3 Ordinasi Pengangkutan Udara (O.P.U) dan pasal 30 Warsaw Convention menyatakan “Pengangkutan udara yang dilakukan berturu-turut oleh beberapa pengangkut udara bagi berlakunya peraturan ini dianggap sebagai satu perbuatan dengan tidak memandang apakah dilakukan berdasarkan satu perjanjian atau beberapa perjanjian”

Sedangkan pasal 45 Undang-Undang No. 15 tahun1992 menyatakan bahwa “Pengangkutan udara yang dilakukan berturu-turut oleh beberapa perusahaan angkutan udara, dianggap sebagai satu pengangkuta udara, apabila oleh pihak-pihak yang bersangkutan diperjanjikan sebagai satu perjanjian pengangkutan udara”

Perbedaan antara O.P.U. dan Warsaw Convention dan Undang-Undang No. 15 tahun 1992 dalah bahwa untuk keetentuan pertama perjanjian tidak harus dalam satu perjanjian pengankutan sedangkan ketentuan kedua ada keharusan untuk membuat dalan satu perjanjian angkutan.


ASPAK-ASPEK HUKUM PADA
CHARTER PESAWAT UDARA

Secara teknis operasional, masalh charter di Indonesia ada peraturannya dari segi hukum, terutama mengenai “dokumen angkutan” dan “tanggung jawab” belum diatur dan masih harus diteliti apakah O.P.U. dapat diberlakukan.

Karena dokumen angkutanmerupakan bukti adanya perjanjian angkutan, maka penagngkut harus memberikan ticket walaupun berbentuk “kolektif” terutama dalam hal angkutan rombongan, termasuk ticket yang diberikan oleh pihak yang bukan pelaksana angkutan itu sendiri.

Ps. 2 (1) O.P.U. Dengan tegas menyatakan bahwa O.P.U. tidak berlaku terhadap hal-hal berikut:

a. Pengangkutan udara tanpa bayaran yang tidak diselenggarakan oleh suatu
perusahaan angkutan udara
b. Angkutan udara yang dilikukan dalam keadaan luar biasa menyimpang dari usaha normal dari suatu perusahaan angkutan udara.

Ps. 2(2) Ordinasi juga tidak berlaku untuk angkutan pos, angkutan dengan pesawat militer, bea cukai atau polisi




Pasal 1(1)
Konvensi Warsawa menetapkan :

Konvensi akan berlaku untuk semua angkutan penumpang, bagasi atau barang (termasuk angkutan udara tanpa bayaran) yang dilakukan oleh suatu perusahaan angkutan udara.

Pasal 2 (1)
Menetapkan bahwa angkutan udara dengan pesawat Negara akan tunduk pada Konvensi asalkan memenuhi syarat dalam pasal 1 (1), akan tetapi bagi angkutan pos sama sekali tidak berlaku Konvensi Warsaw (Ps.2 ayat 2)

Mengenai istilah “Pengankut” terdapat kendala yakni bahwa perjanjian angkutan dilakukan satu pihak sedangkan angkutannya sendiri dilaksanakan oleh pihak lain yang tidak mempunyai hubungan perjanjian angkutan dengan pihak yang diangkut.

Kendala ini dalam angkutan udara internasional dihilanhkan melalui Konvensi Guadalaraja yang membedakan antara “Contracting carrier”
Dan “Actual Carrier”. Sedangkan mengenai tanggung jawab ditetapkan bahwa keduanya bertanggung jawab baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Pada prinsipnya pihak yang bertanggung jawab dalam hal angkutan charter adalah pihak yang membuat perjanjian angkutan.

Contracting Carrier : Pihak yang membuat perjanjian angkutan:
Actual Carrier : Pihak yang melaksanakan angkutan berdasarkan
Perjanjian yang dibuat oleh Contracting Carrier.



TANGGUNG JAWAB PADA PENGANGKUTAN PENUMPANG
(MENURUT ORDINASI PENGANGKUTAN UDARA)

PRINSIP / SISTEM TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

1. PRESUMPTION OF LIABILITY yaitu pengangkut dianggapbertanggung jawab dan wajib membayar kompensasi kepada penumpang atau pengirim barang.
2. PRESUMPTION OF NON-LIABILITY yaitu pengangkut dianggap tidak sealau bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang.
3. LIMITATION OF LIABILITY Yaitu pengangkut bertanggung jawab sampai dengan batas tertntu terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang.
4. ABSOLUTE LIABILITY yaitu pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang, tanpa kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab.
5. STRICT LIABILITY yaitu pengangkut wajib bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh penumpang, tanpa kemungkinan untuk membebaskan diri.
6. FLAT RATE yaitu semua penumpang mendapat ganti rugi yang sama tanpa melihat status penumpang.

Tidak ada komentar: